Tahun 2009, waktu itu di bulan 6, aku sudah menyelesaikan kuliahku. Di tahun itu juga aku pulang ke tanah kelahiranku: Bontang.
Kelar kuliah, aku menganggur 4 bulan lamanya. di masa-masa pengangguran itu, aku berusaha membina remaja masjid di lingkunganku. Untuk itu aku mengaktifkan kembali organisasi keremajaan masjid yang tahun 2006 silam kudirikan, KAMDA.
Dengan sedikit pengalaman yang aku miliki, dan sisa-sisa semangat yang perlahan habis terkikis realita, aku mengkader para remaja. Aku menyusun program-program kerja dan mengarahkan apa-apa yang harus dilakukan. Dan salah satu program kerja itu adalah bimbingan belajar (bimbel). Karena tidak ada dana untuk membayar tutor, jadi aku yang mengambil peran itu. Dari bimbel itu aku mengenal adik-adik remaja secara pribadi. Dan lebih dari itu, aku mengenal si dia.
Berjalan beberapa minggu, bimbel berhenti di tengah jalan. Yang aku ingat adalah SMS terakhir dari salah seorang mereka, mengatakan kalau beberapa orang tua dari mereka melarangnya pulang kemalaman. Aku hanya berpesan, lewat balasan SMS, belajarlah di rumah masing-masing supaya lulus dengan hasil yang baik. Memang waktu itu jadwal kami jam 9 sampai 10 malam. Karena tidak ada waktu lain, bimbel tidak berjalan lagi.
Bulan 12 di tahun 2009, aku mulai bekerja di sebuah perusahaan swasta. Hal itu membuatku semakin tidak punya waktu untuk kegiatan lain. Jadi aku jarang bertemu mereka.
Aku masih ingat, si dia pernah salah kirim sms padaku. SMS itu adalah semacam pemberi semangat kepada teman-teman sekolahnya untuk menantikan amplop hasil ujian nasional. Saat kuterima sms itu, ada hal lain yang kurasakan. Entahlah itu apa.
Waktu berjalan. Dan oleh suatu kesepakatan di pertemuan KAMDA, kami mulai mengaktifkan kembali kegiatan bimbel itu. Mereka yang memintanya.
Tetapi bimbel kali ini terasa beda. Tempat, suasana, metode, tentor, dan peserta didik memang sama. Tidak ada perubahan. Yang beda adalah ketika aku melihat wajah si dia. Kalau dulu mereka masih SMP, sekarang sudah di tingkat SMA. Dulu aku bertaruh dengan batinku bahwa suatu hari nanti, dia akan tumbuh menjadi gadis dewasa yang jelita. Dan sekarang aku memenangi pertaruhan itu.
Aku mengaguminya. Hingga, rasa kagum itu akhirnya mengendap di dasar hatiku dan berubah menjadi suatu bentuk rasa yang berbeda. Dan pertemuan yang semakin sering, entah itu di bimbel atau di kegiatan keremajaan lainnya, membuatku jatuh hati padanya. Tak bisa kubohongi diri bahwa aku menyukainya, meski aku selalu memaksa bahwa perasaan itu hanya bentuk kekaguman semata sebagai makhluk ciptaan Allah.
Aku mengaguminya. Hingga, rasa kagum itu akhirnya mengendap di dasar hatiku dan berubah menjadi suatu bentuk rasa yang berbeda. Dan pertemuan yang semakin sering, entah itu di bimbel atau di kegiatan keremajaan lainnya, membuatku jatuh hati padanya. Tak bisa kubohongi diri bahwa aku menyukainya, meski aku selalu memaksa bahwa perasaan itu hanya bentuk kekaguman semata sebagai makhluk ciptaan Allah.
Ketika dia masih awal-awal di bangku SMA aku simpan dalam-dalam perasaan ini, sehingga hanya hatiku yang mendengar bahwa aku menyukainya.
Namun waktu terus menggiring. Menggiring dia ke fase kehidupan yang lebih kompleks. Si dia menginjak dewasa. Perubahannya nampak jelas. Ciri-ciri kewanitaannya semakin nampak. Sifat kenakakannya satu-satu berguguran. Dia anggun sekali!!!
Dari pergolakan batin di diriku, perasaan yang tersimpan dalam-dalam akhirnya kuluapkan, sehingga bukan hanya hatiku yang mendengar bahwa aku suka dia. Tapi juga hatinya.
Bontang,
Kamis, 22/03/2012
23:10
***
Bontang,
Kamis, 22/03/2012
23:10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.