Aku pernah memiliki seorang sahabat dan tak pernah lagi menemukan sosok yang bisa dijadikan sahabat setelahnya.
Dahulu, pernah suatu masa di mana ketika jam istirahat sekolah, aku
pulang ke rumah dan mengajaknya. Dia hanya
menunggu di teras rumah, sementara aku makan siang bersama ibu dan bapakku. Tahu aku membawa teman dan tidak mengajaknya, ibu dan
bapak menegurku. Mereka mengajarkanku sesuatu yang baru: Kalau bawa teman, ajak
makan. Aku hanya mengatakan kalau dia tidak mau makan. Ibuku lantas menyusul
sahabatku itu di teras depan dan menyuruhnya ikut makan bersama kami. Dia menolak untuk makan. Ibuku lantas berbincang-bincang
dengannnya dan akhirnya tahu bahwa ayahnya adalah teman bapak. Ya, ayah
sahabatku adalah teman bapakku.
Namanya Agung Salim. Putra dari Abu Sikki, pemilik tanah yang sangat luas di KM 2 Loktuan. Dialah sahabatku.
Dia
pernah mengajakku main ke rumahnya, di siang hari Ahad. Dia
memboncengku dengan sepeda. Jaraknya sekitar 2 km melewati tanjakan dan
turunan. Ketika tanjakan, aku harus berjalan beberapa meter karena dia
tidak kuat mengayuh pedal sepedanya. Aku masih sangat ingat, sepanjang perjalanan celoteh yang dia
keluarkan. Dan aku rindu saat itu. Menulis cerita ini, peristiwa itu
tergambar di ruang masa lampauku.
Aku bersahabat dengannya sejak kelas 2 SD. Meskipun kami sangat akrab, namun pernah juga cekcok dengannya. Waktu itu dia sangat marah. Hanya berlangsung sehari
atau dua hari. Selebihnya, aku selalu bersamanya. Mungkin dia butuh sendiri.
Dia adalah perisaiku.
Dia menjadi pelindungku. Dia adalah penghiburku. Dia selalu menjadikan
hari-hariku penuh keceriaan. Tetapi, dia tidak pernah keberatan, jika
apa yang ia berikan padaku, tidak kuberikan padanya. Dan akupun berusaha seperti itu. Itulah alasanku
menganggapnya sebagai seorang sahabat, yang sampai saat ini belum
kutemukan yang sepertinya.
Bontang, 10/03/2012
23:52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.