Meminang Dara Bugis
“Ditakdirkan menjadi
pemuda bugis adalah sebuah tantangan.”
Setidaknya itu yang
dirasakan La Tang, perantau yang berasal dari suatu kampung di tanah bugis. Bertahun-tahun
dia mengumpulkan doi sompa, semacam uang seserahan wajib yang berlaku
dalam adat pernikahan di kampungnya, yang disiapkan untuk meminang dara pujaan
hatinya. Umpama suatu keinginan yang sungguh-sungguh itu dinamakan cita-cita,
maka memiliki Marni adalah cita-cita terbesarnya. Ingin memiliki Marni…? Di
situlah dia ditantang.
***
Satu
Sudah lima tahun La Tang
menjadi masyarakat Kaltim oleh sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Dia
meninggalkan kampung halaman setelah menerima kabar dari seorang teman yang sudah
lebih dulu menetap bahwa ada kehidupan yang lebih baik di sini.
“Di Kalimantan kamu
bisa bekerja di proyek-proyek atau di mana saja yang penting mau kerja,” kata
Baharuddin, tetangganya dari kampung yang sudah punya motor sendiri hasil
kreditan setelah setahun bekerja.
Awal bekerja Tang
mengeluh. Ternyata hidup di rantau sangatlah keras. Di bulan pertamanya dia
berniat untuk balik ke kampungnya. Tapi keputusannya itu segera diralat ketika
membayangkan kampung halaman yang tak bisa memberinya sedikit saja harapan. Kembali
ke sana tanpa membawa apa-apa hanya menjadi bahan cemooh saja. Para orang tua
akan menertawainya. Oleh gadis-gadis yang kerjaannya sering mencari kutu seraya
bergosip di tangga depan rumah, dia akan semakin diremehkan. Dan Marni…? “Oh, bagaimana
bisa aku memilikinya kalau aku kembali sekarang?” benaknya resah, di saat yang
bersamaan terbayang pemuda-pemuda lain yang juga ingin memiliki Marni.
Sebenarnya ayahnya
punya beberapa are tanah di kampung yang diwariskan padanya dan ditanami padi oleh
keluarga yang hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Tanah
itulah harta satu-satunya yang bisa dijual untuk melamar Marni.
Tetapi siapa yang
bisa memberi uang tunai di tengah kondisi masyarakat yang bernasib sama?
Masalahnya hampir semua orang punya tanah tetapi tidak punya uang. Lagian, jika
pun ada yang mau membelinya, dengan apa keluarganya makan setelah itu?
Bagaimana pula dia hidup dengan Marni? “Tak ada cara lain, aku harus bertahan
di sini,” pikir La Tang dengan tekad yang kuat.
Setahun bekerja, seiring
dengan semakin membaiknya posisinya di proyek, La Tang mengikuti langkah Baharuddin
memiliki sepeda motor, hanya saja miliknya lebih keren. Awalnya Bahar
menyarankan pada temannya yang masih minim pengalaman itu agar membeli motor
bekas saja yang murah supaya tidak memberatkan, mengingat dia hanya pekerja
proyek. Tapi dia ngotot dan yakin mampu membayar cicilan dari gaji yang setiap
bulan diterimanya.
Berbicara ke kampung,
La Tang terkadang membanggakan diri dengan motor barunya. Dia menelpon teman-temannya
di sana, berbasa-basi menanyakan kondisi harga gabah musim panen kemarin, harga
telur bebek di pengepul, atau sparepart motor ninja di toko Cina di
pasar kecamatan. Suatu waktu dia bernada mengeluh bahwa 50 ribu rupiah bagi
bujangan sepertinya hanya cukup makan sehari di sini. Sebenarnya dia hanya
ingin menampilkan gengsi dengan kehidupannya yang baru. Dengan begitu
teman-temannya dipaksa berpikir sendiri: jika dengan 50 ribu sehari untuk makan
saja, bagaimana bisa Tang memiliki motor yang termasuk barang mewah di
kampungnya? Wah, mestilah Tang bergaji besar. Merk yang dimilikinya pun hanya beberapa
pernah dilihat lalu lalang melewati jalan-jalan di kota kecamatan. Sedangkan bagi
pemuda di kampungnya, seperti dirinya dulu, sangat untung kalau dalam seminggu
bisa memegang uang segitu.
Namun malang tak
dapat ditolak. Proyek yang dikerjakannya telah selesai dan dia menjadi pengangguran beberapa bulan. Alhasil
motor yang dibangga-banggakannya itupun ditarik orang dealer karena tak sanggup
melanjutkan cicilan. Dia hanya bisa menyesali diri kenapa tak mau mendengar
saran temannya itu.
Untungnya Baharuddin
masih berbaik hati mau membayar sendiri kamar kontrakan mereka. Sebelumnya La
Tang sudah mengatakan padanya akan mengambil indekos sendiri bulan depan. Dia
memercayai prestisenya di mata orang-orang di kampungnya semakin naik setelah
menceritakan bahwa dia indekos di kawasan perumahan, dan berharap tak lagi
diremehkan oleh ayah Marni.
Di akhir tahun La
Tang sudah bekerja lagi di tempat yang sama dengan Bahar sebagai buruh angkut
pupuk.
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.