Selasa, 23 Juli 2013

Meminang Dara Bugis :: 1 dari 3


Meminang Dara Bugis

“Ditakdirkan menjadi pemuda bugis adalah sebuah tantangan.”

Setidaknya itu yang dirasakan La Tang, perantau yang berasal dari suatu kampung di tanah bugis. Bertahun-tahun dia mengumpulkan doi sompa, semacam uang seserahan wajib yang berlaku dalam adat pernikahan di kampungnya, yang disiapkan untuk meminang dara pujaan hatinya. Umpama suatu keinginan yang sungguh-sungguh itu dinamakan cita-cita, maka memiliki Marni adalah cita-cita terbesarnya. Ingin memiliki Marni…? Di situlah dia ditantang.


***
Satu
Sudah lima tahun La Tang menjadi masyarakat Kaltim oleh sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Dia meninggalkan kampung halaman setelah menerima kabar dari seorang teman yang sudah lebih dulu menetap bahwa ada kehidupan yang lebih baik di sini.

“Di Kalimantan kamu bisa bekerja di proyek-proyek atau di mana saja yang penting mau kerja,” kata Baharuddin, tetangganya dari kampung yang sudah punya motor sendiri hasil kreditan setelah setahun bekerja.

Awal bekerja Tang mengeluh. Ternyata hidup di rantau sangatlah keras. Di bulan pertamanya dia berniat untuk balik ke kampungnya. Tapi keputusannya itu segera diralat ketika membayangkan kampung halaman yang tak bisa memberinya sedikit saja harapan. Kembali ke sana tanpa membawa apa-apa hanya menjadi bahan cemooh saja. Para orang tua akan menertawainya. Oleh gadis-gadis yang kerjaannya sering mencari kutu seraya bergosip di tangga depan rumah, dia akan semakin diremehkan. Dan Marni…? “Oh, bagaimana bisa aku memilikinya kalau aku kembali sekarang?” benaknya resah, di saat yang bersamaan terbayang pemuda-pemuda lain yang juga ingin memiliki Marni.

Sebenarnya ayahnya punya beberapa are tanah di kampung yang diwariskan padanya dan ditanami padi oleh keluarga yang hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Tanah itulah harta satu-satunya yang bisa dijual untuk melamar Marni.
Tetapi siapa yang bisa memberi uang tunai di tengah kondisi masyarakat yang bernasib sama? Masalahnya hampir semua orang punya tanah tetapi tidak punya uang. Lagian, jika pun ada yang mau membelinya, dengan apa keluarganya makan setelah itu? Bagaimana pula dia hidup dengan Marni? “Tak ada cara lain, aku harus bertahan di sini,” pikir La Tang dengan tekad yang kuat.

Setahun bekerja, seiring dengan semakin membaiknya posisinya di proyek, La Tang mengikuti langkah Baharuddin memiliki sepeda motor, hanya saja miliknya lebih keren. Awalnya Bahar menyarankan pada temannya yang masih minim pengalaman itu agar membeli motor bekas saja yang murah supaya tidak memberatkan, mengingat dia hanya pekerja proyek. Tapi dia ngotot dan yakin mampu membayar cicilan dari gaji yang setiap bulan diterimanya.

Berbicara ke kampung, La Tang terkadang membanggakan diri dengan motor barunya. Dia menelpon teman-temannya di sana, berbasa-basi menanyakan kondisi harga gabah musim panen kemarin, harga telur bebek di pengepul, atau sparepart motor ninja di toko Cina di pasar kecamatan. Suatu waktu dia bernada mengeluh bahwa 50 ribu rupiah bagi bujangan sepertinya hanya cukup makan sehari di sini. Sebenarnya dia hanya ingin menampilkan gengsi dengan kehidupannya yang baru. Dengan begitu teman-temannya dipaksa berpikir sendiri: jika dengan 50 ribu sehari untuk makan saja, bagaimana bisa Tang memiliki motor yang termasuk barang mewah di kampungnya? Wah, mestilah Tang bergaji besar. Merk yang dimilikinya pun hanya beberapa pernah dilihat lalu lalang melewati jalan-jalan di kota kecamatan. Sedangkan bagi pemuda di kampungnya, seperti dirinya dulu, sangat untung kalau dalam seminggu bisa memegang uang segitu. 

Namun malang tak dapat ditolak. Proyek yang dikerjakannya telah selesai dan dia  menjadi pengangguran beberapa bulan. Alhasil motor yang dibangga-banggakannya itupun ditarik orang dealer karena tak sanggup melanjutkan cicilan. Dia hanya bisa menyesali diri kenapa tak mau mendengar saran temannya itu.

Untungnya Baharuddin masih berbaik hati mau membayar sendiri kamar kontrakan mereka. Sebelumnya La Tang sudah mengatakan padanya akan mengambil indekos sendiri bulan depan. Dia memercayai prestisenya di mata orang-orang di kampungnya semakin naik setelah menceritakan bahwa dia indekos di kawasan perumahan, dan berharap tak lagi diremehkan oleh ayah Marni.

Di akhir tahun La Tang sudah bekerja lagi di tempat yang sama dengan Bahar sebagai buruh angkut pupuk.
***

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.