Dua
La Tang menerima
kabar dari kampungnya bahwa Caco, teman SDnya dulu, telah menikah sebulan lalu.
Yang paling menarik baginya untuk diketahui adalah siapa istrinya dan putus
berapa sompanya?
“Caco kawin dengan
Sitti Sinar Bulan, janda muda yang suaminya mati ditusuk badik di pabrik penggilingan
gabah di kampung sebelah,” cerita Indo Tuo, ibu La Tang melalui ponsel cina
yang dikirimkannya baru-baru ini. La Tang tidak begitu tertarik dengan cerita
penikaman itu karena dia ingin lebih tahu berapa uang sompa Sinar.
Lagipula kejadian seperti itu bukan barang baru di kampungnya, sudah ada
beberapa orang sebelumnya, entah pemuda atau bapak-bapak, yang mati di ujung
badik. Dia rupanya sangat penasaran berapa harga janda sekarang.
“Karena janda, Sinar
disompa dengan uang 10 juta ditambah gabah 15 kaleng,” terang sang ibu,
“dulu dia 25 juta waktu nikah pertama, toh?” lanjutnya berusaha menegaskan
ingatannya setahun lalu.
Sinar memang cantik
dan masih muda wajar kalau dulu tinggi uang sompanya. Tapi sekarang dia
sudah janda, kurang peminatnya. Selama masih bisa mendapatkan gadis para pemuda
tidak akan mau menikahi seorang janda. Itu karena memperistri seorang janda
merupakan hal yang membuat malu keluarga besar. Begitulah pandangan orang di
kampungnya. Tetapi lain bagi Caco yang pragmatis, janda juga sama dengan
perempuan lainnya. Dia tak mau pusing memikirkan omongan orang-orang terlebih
memusingkan harga gadis yang begitu tinggi. Lagipula Sinar belum punya anak.
Setidaknya ada dua
alasan kenapa kali ini La Tang merasa lega sehabis menelpon ibunya di kampung.
Pertama, ibunya sehat-sehat saja. Kedua, sampai saat ini Marni masih aman.
Saban kali terdengar kabar dari kampungnya tentang adanya sebuah keluarga yang massuro,
meminang, dia selalu khawatir. Jangan sampai Marni lah yang dipinangnya. Itu
yang membuatnya waswas. “Siapa yang berani melamar Marni?” begitulah hatinya
bertanya-tanya. Tentu berani yang dimaksudnya adalah tentang harga diri.
Meminang dara bugis berarti mempertaruhkan harga diri. Sebab bagi orang bugis
ditolak karena tak mampu memenuhi sompa merupakan siri loppo, aib
yang besar bagi suatu keluarga. Lebih baik jangan kalau memang kira-kira tidak
sanggup.
La Tang tahu, kondisi
yang tidak beda ketika dia masih berada di kampungya, tak ada seorang pun yang
mampu mendekati orang tua Marni. Orang-orang di kampungnya bisa menebak-nebak
berapa kira-kira jumlah uang yang bisa meluluhkan hati orang tua Marni. Mereka
akan berkaca pada peristiwa lima tahun lalu ketika kakak perempuan Marni yang
seorang lulusan SMA saja diboyong oleh anak saudagar dari Ujung Pandang dengan
40 juta rupiah ditambah satu unit traktor sawah. Yang harus diingat itu
peristiwa lima tahun lalu.
Sedangkan Marni saat
ini sedang menyelesaikan gelar sarjana pendidikannya di sebuah kampus tak jauh
dari kota kecamatan. Orang sudah bisa menduga bahwa Marni akan dilepas jika ada
yang membawa ke rumah orang tuanya uang 70 juta. Itu belum termasuk kenaikan harga
BBM yang akan turut dipertimbangkan dalam menetapkan sompa Marni.
La Tang pun sadar
dengan pekerjaanya sekarang ini dia akan kesulitan mendapatkan uang sejumlah
itu. Terkadang timbul di pikirannya pertanyaan bagaimana cara agar dia bisa
menikahi gadis yang dicintainya itu? Tapi buntu. Tidak pernah terpikirkan
sekalipun apa yang harus dilakukannya. Dia masih ingat betapa ayah Marni hampir
tak menyetujui lamaran anak saudagar itu hanya karena kurang 1 juta rupiah dari
yang diminta. Ini tentang adat yang tak bisa diganggu gugat. Bukan ayah Marni
yang bersikeras, tapi keluarga di belakangnya.
“Ah, apakah kurelakan
saja dia diambil orang lalu mencari gadis lain? Tapi apa aku sanggup melupakanmu,
Marni?”
***
Magrib baru saja berlalu
ketika Latang dan Bahar melepas penatnya di teras depan kos setelah seharian
bekerja berat.
“Mungkin minggu depan
aku ke kampung dulu, Bahar,” sahut La Tang tiba-tiba ketika mereka larut dalam
pikiran masing-masing.
Itu membuat Bahar
bertanya, “Emakmu sakit, Daeng?”
“Hm…nda. Aku harus
menemui seseorang. Aku kangen dia.”
Bahar menghisap
rokoknya sangat dalam, lalu muncul pertanyaan singkat setelah perlahan-lahan
asap dihembuskannya membentuk lingkaran, “Pacar?
Tang menahan senyum.
Dia lalu menggeleng perlahan.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.