Rabu, 25 September 2013

Meminang Dara Bugis :: 2 dari 3


Dua

La Tang menerima kabar dari kampungnya bahwa Caco, teman SDnya dulu, telah menikah sebulan lalu. Yang paling menarik baginya untuk diketahui adalah siapa istrinya dan putus berapa sompanya?

“Caco kawin dengan Sitti Sinar Bulan, janda muda yang suaminya mati ditusuk badik di pabrik penggilingan gabah di kampung sebelah,” cerita Indo Tuo, ibu La Tang melalui ponsel cina yang dikirimkannya baru-baru ini. La Tang tidak begitu tertarik dengan cerita penikaman itu karena dia ingin lebih tahu berapa uang sompa Sinar. Lagipula kejadian seperti itu bukan barang baru di kampungnya, sudah ada beberapa orang sebelumnya, entah pemuda atau bapak-bapak, yang mati di ujung badik. Dia rupanya sangat penasaran berapa harga janda sekarang.


“Karena janda, Sinar disompa dengan uang 10 juta ditambah gabah 15 kaleng,” terang sang ibu, “dulu dia 25 juta waktu nikah pertama, toh?” lanjutnya berusaha menegaskan ingatannya setahun lalu.

Sinar memang cantik dan masih muda wajar kalau dulu tinggi uang sompanya. Tapi sekarang dia sudah janda, kurang peminatnya. Selama masih bisa mendapatkan gadis para pemuda tidak akan mau menikahi seorang janda. Itu karena memperistri seorang janda merupakan hal yang membuat malu keluarga besar. Begitulah pandangan orang di kampungnya. Tetapi lain bagi Caco yang pragmatis, janda juga sama dengan perempuan lainnya. Dia tak mau pusing memikirkan omongan orang-orang terlebih memusingkan harga gadis yang begitu tinggi. Lagipula Sinar belum punya anak.

Setidaknya ada dua alasan kenapa kali ini La Tang merasa lega sehabis menelpon ibunya di kampung. Pertama, ibunya sehat-sehat saja. Kedua, sampai saat ini Marni masih aman. Saban kali terdengar kabar dari kampungnya tentang adanya sebuah keluarga yang massuro, meminang, dia selalu khawatir. Jangan sampai Marni lah yang dipinangnya. Itu yang membuatnya waswas. “Siapa yang berani melamar Marni?” begitulah hatinya bertanya-tanya. Tentu berani yang dimaksudnya adalah tentang harga diri. Meminang dara bugis berarti mempertaruhkan harga diri. Sebab bagi orang bugis ditolak karena tak mampu memenuhi sompa merupakan siri loppo, aib yang besar bagi suatu keluarga. Lebih baik jangan kalau memang kira-kira tidak sanggup.

La Tang tahu, kondisi yang tidak beda ketika dia masih berada di kampungya, tak ada seorang pun yang mampu mendekati orang tua Marni. Orang-orang di kampungnya bisa menebak-nebak berapa kira-kira jumlah uang yang bisa meluluhkan hati orang tua Marni. Mereka akan berkaca pada peristiwa lima tahun lalu ketika kakak perempuan Marni yang seorang lulusan SMA saja diboyong oleh anak saudagar dari Ujung Pandang dengan 40 juta rupiah ditambah satu unit traktor sawah. Yang harus diingat itu peristiwa lima tahun lalu.

Sedangkan Marni saat ini sedang menyelesaikan gelar sarjana pendidikannya di sebuah kampus tak jauh dari kota kecamatan. Orang sudah bisa menduga bahwa Marni akan dilepas jika ada yang membawa ke rumah orang tuanya uang 70 juta. Itu belum termasuk kenaikan harga BBM yang akan turut dipertimbangkan dalam menetapkan sompa Marni.

La Tang pun sadar dengan pekerjaanya sekarang ini dia akan kesulitan mendapatkan uang sejumlah itu. Terkadang timbul di pikirannya pertanyaan bagaimana cara agar dia bisa menikahi gadis yang dicintainya itu? Tapi buntu. Tidak pernah terpikirkan sekalipun apa yang harus dilakukannya. Dia masih ingat betapa ayah Marni hampir tak menyetujui lamaran anak saudagar itu hanya karena kurang 1 juta rupiah dari yang diminta. Ini tentang adat yang tak bisa diganggu gugat. Bukan ayah Marni yang bersikeras, tapi keluarga di belakangnya.

“Ah, apakah kurelakan saja dia diambil orang lalu mencari gadis lain? Tapi apa aku sanggup melupakanmu, Marni?”

***

Magrib baru saja berlalu ketika Latang dan Bahar melepas penatnya di teras depan kos setelah seharian bekerja berat.

“Mungkin minggu depan aku ke kampung dulu, Bahar,” sahut La Tang tiba-tiba ketika mereka larut dalam pikiran masing-masing.

Itu membuat Bahar bertanya, “Emakmu sakit, Daeng?”

“Hm…nda. Aku harus menemui seseorang. Aku kangen dia.”

Bahar menghisap rokoknya sangat dalam, lalu muncul pertanyaan singkat setelah perlahan-lahan asap dihembuskannya membentuk lingkaran, “Pacar? 

Tang menahan senyum. Dia lalu menggeleng perlahan.

“Jadi kangen sama siapa?”

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.