Rabu, 25 September 2013

Meminang Dara Bugis :: 3 dari 3 (habis)


Tiga

 “Dia bukan pacarku. Tapi aku suka dia. Hm, bukan aku saja, banyak yang suka dia. Jadi aku mau cepat melamarnya,” kata La Tang agak sungkan. “Anaknya puang Amir… Marni,” lanjutnya selang beberapa detik.

Bahar kaget tapi Tang tak melihatnya. Reaksi kaget itu tidak berlebihan. Bahar pun tahu siapa puang Amir. Dan sebagai seorang teman yang sudah bersama sejak lima tahun lalu dia meragukan temannya itu punya banyak tabungan. Rasanya tidak mungkin, kecuali tanah milik almarhum bapaknya laku di atas 50 juta.


“Tapi aku bingung, Bahar,” katanya kemudian dengan raut wajah nestapa,” darimana aku bisa dapat banyak uang untuk melamar Marni?”

Pertanyaan barusan membuat Bahar tersedak kopi yang baru saja diseruputnya. “Lalu bagaimana Tang bisa berpikir mau melamar Marni kalau dia sendiri yakin tak punya cukup uang?” Batinnya keheranan.

La Tang hanya bisa menunduk sementara Bahar berusaha menjaga sikapnya. Dia tak mau Tang sampai tersinggung atas batuk-batuk yang tiba-tiba menyerangnya.

***

Tiga hari sebelum pulang kampung, La Tang ditemui oleh Bahar menyambung pembicaraanya beberapa hari lalu tentang Marni. Baharuddin teringat sesuatu yang mungkin bisa membantu temannya itu mendapatkan Marni dengan harga yang murah. La Tang, yang selalu gagal mencari cara memikirkannya, merasa tidak bergairah mendengarnya. “Mungkin Bahar mau berguyon, “begitulah tanggapannya.

“Daeng, kau ingat dengan teman kerja kita, si Pandi?”

“Ya… ingat.”

“Coba pikir saja, Daeng, masa baru empat bulan menikah istrinya sudah melahirkan,” kata Bahar semangat.

Mendengarnya, Latang mulai tertarik ingin tahu lebih jauh. Mimiknya berganti serius.
“Nah, coba Daeng ingat waktu kita ikut melamar, berapa sompa yang diputuskan waktu itu?” tanya Bahar.

La Tang mengarahkan mata ke bagian atas kepalanya. Dia mencoba mengingat-ingat berapa jumlah yang diumumkan saat itu di hari akad, “kalau tak salah 5 juta.”

“Nah, itulah! Kalau mau tahu Pandi pernah mengeluh kepadaku bahwa ayah istrinya itu dulu minta 20 juta,” ungkap Bahar. “Daeng tahu kira-kira kenapa pada saat melamar hanya 5 juta yang putus? Itupun berjalan lancar tanpa ada proses tawar menawar? Kau tahu, Daeng?”

Tang hanya menunggu jawaban. Dia tak yakin dengan jawabannya sendiri. Dipikirannya mungkin Pandi menjerat mertuanya itu dengan utang. Ah, si bajingan itu.
“Itu karena istrinya sudah hamil duluan dan pandi cuma punya 5 juta.” Jawab Bahar tak lama. ”Si bajingan itu pasti sengaja menghamili pacarnya supaya nanti sompanya turun,” lanjutnya.

Sepertinya La Tang mencoba mencerna penjelasan Bahar. Lama sekali dia merenung.

“Apa boleh buat…Kamu juga bisa tiru cara Pandi, Daeng,” kata Bahar sebelum beranjak membiarkan temannya itu sendiri.

“Dasar parakang! Asu… kau pikir aku ini laki-laki bajingan seperti  Pandi?” tolak hati kecilnya.

Tentu saja La Tang menolak cara-cara licik seperti itu.

Tentang Pandi, teman kerja sekaligus teman yang datang dari daerah yang sama cuma beda kampung, sudah tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Mandornya menanyainya ketika Tang mengurus cuti kerjanya tapi dia benar-benar tak tahu kemana si bajingan itu minggat setelah menikah dengan pacarnya itu. Kata pak Mandor Pandi meminjam uang 30 juta dari perusahaan.

Besoknya, ketika akan berangkat, La Tang baru tahu kemana laki-laki bertatto itu sembunyi sehabis menelpon ibunya. Kabarnya dia kembali ke kampung sudah beberapa bulan lalu dan kini ditemukan tewas di pinggir sungai dengan luka bacok di bagian dada dan perut. Pandi memang sering buat ulah, banyak yang dendam padanya. Mungkin karena itulah dia dihabisi. Namun belum ada yang tahu persis siapa yang tega membunuhnya.

Dia teringat kembali saat di kampung dulu, Pandi juga pernah menghamili anak gadis orang yang dipacarinya. Alih-alih bertanggung jawab atas perbuatannya dia memilih kabur ke Irian. Entahlah apa yang terjadi selanjutnya di Irian sana sebelum ke sini. Tapi dia pernah bercerita pada La Tang ketika di sana dia melindas babi hamil hingga tewas dan mendapat denda adat. Sialnya, babi yang dibunuhnya punya delapan anak yang masih menyusui. Karena tak sanggup mengganti denda dia pun kabur ke sini.

***

Tenda didirikan  oleh beberapa orang pemuda di tengah sawah yang telah dipanen dan menjadi tanah lapang. Biasanya di situlah anak-anak sering bermain sepak bola setiap sore. Kebiasaan itu sudah terjadi lebih dari lima belas tahun lalu. Sawah yang tak jauh dari rumah ayah Marni itu tergolong yang cukup tua. Dahulu dimiliki oleh Masse, sekarang berpindah ke tangan puang Amir setelah pemilik awal merantau ke Irian dan menggadai semua sawahnya dengan sebuah mata ringgit. Untuk hari ini, lapangan itu akan menjadi tempat hajatan besok malam.

Sementara panggung sedang ditata, sebuah pick-up baru saja menepi di dekat lapangan. Kernet segera keluar membuka penutup bak belakang untuk menurunkan kursi. Orang-orang datang membantu.

Perempuan-perempuan dari kampung sebelah berdatangan untuk membantu keluarga puang Amir mengiris daging dan memotong sayuran di bawah kolong rumah panggung khas Sulawesi. Mereka sambil bergunjing. Dan yang paling menarik menjadi topik adalah mengenai pesta pernikahan yang tidak semeriah dulu.

Beberapa tahun silam juga pernah diadakan pesta sejenis di lapangan itu. Perempuan-perempuan yang dulu datang membantu sekarang bertemu lagi dalam suasana yang hampir sama. Hanya beberapa orang yang dulunya hadir sekarang tidak. Ada yang sudah meninggal dua tahun lalu.

“Dulu, panggung besar didirikan,” kenang janda muda yang baru menikah lagi. Tak lain dia adalah Sinar Bulan, istri Caco. Dia masih mengingat lekat pesta pernikahan anak pertama puang Amir. Dulu dia masih gadis kecil yang baru saja lulus SD ketika diajak ibunya membantu memotong daging. Dia berkisah bahwa turab dipasang hingga sepuluh ruas supaya bisa meneduhi banyak kursi. Puang Amir memang menyebar hingga 2000an undangan ke beberapa kampung. Maka ketika itu untuk mengangkut kursi yang begitu banyak harus menggunakan truk.

Dahulu, dua ekor sapi gemuk dipotong dan berkarung-karung beras dimasak. Ratusan kelapa dikupas untuk diambil santannya. Perempuan yang bertugas menyuci piring adalah bagian paling sibuk. Tetamu tak habis-habisnya datang. Banyak orang yang menganggap bahwa saat itu pesta pernikahan Masni lah, yang merupakan kakak perempuan Marni, yang terbesar yang pernah digelar di kampung ini.

“Lihat saja berapa kilo daging yang kita potong sekarang ini, mungkin hanya 30, begitulah kira-kira uang yang naik,” komentar seorang perempuan yang memakai bedak sangat tebal di dekat Sinar.

“Ya, mau diapakan lagi. Mungkin begini pula lah takdir anak itu,” timpal seorang sedikit bijak.

“Kalau begitu aku masih mending, walau janda bapakku masih bisa potong sapi 1 ekor waktu kawin dengan daeng Caco,” tambah janda muda itu, guyonannya pun disambut tawa oleh yang lain.

***

Empat

Terhadap orang-orang yang belum tahu cerita sebenarnya mereka kagum pada La Tang yang bisa mendapatkan gadis paling mahal di kampungnya itu. Meski uang sompa yang naik masih simpang siur mereka tetap yakin bahwa pemuda itu membawa banyak uang dari rantauan untuk orang tua Marni. Tetapi banyak juga yang menilai dari sudut pandang lain. Mereka melihat kecilnya pesta yang digelar. Umumnya mereka adalah para perempuan yang jarang keluar kampung. Orang-orang inilah yang sangat berjasa membentuk opini yang akhirnya dipercaya sebagai suatu kebenaran. Pandangan bahwa La Tang memberikan mahar yang banyak mulai luntur berganti ke dugaan yang hina. Rumornya ini akibat ‘kecelakaan’.

La Tang memang dikenal dekat dengan Marni sejak dulu. Terlebih ketika kedatangannya dari Kalimantan. Suatu sore mereka dilihat oleh beberapa tetangga berduaan dari satu stan ke stan pameran lain di acara pagelaran seni daerah di alun-alun kecamatan. La Tang kemudian mengantar Marni pulang ke rumahnya jam 11 malam. Saat itu orang tua Marni tidak di rumah lantaran sedang berada di salah satu rumah keluarga yang selamatan. Bisa saja ketika berduaan itulah La Tang berbuat sesuatu dengan Marni. Begitulah gunjingan yang beredar.

***

Di pelaminan yang hanya dihibur oleh elekton setempat La Tang bersanding dengan Marni. Tang mengumbar senyum kebahagiaan dihadapan ratusan undangan padahal itu adalah senyum dari seorang yang menahan sesak. Dia mencoba tegar menahan perih hati yang tersayat-sayat.

Saat kedatangannya dari tanah rantau dia memberanikan diri menemui orang tua Marni. Niat baiknya disambut hangat oleh keluarganya, terutama puang Amir. Dia tak menduga bahwa ketika mengatakan hanya memiliki 20 juta, ayah Marni langsung menerimanya. Hanya saja, La Tang disuruh untuk tidak memberitahu jumlah uang naiknya itu ke khalayak. Ayah Marni beralasan bahwa Marni sangat mencintainya dan dia ingin segera  menimang cucu. Memang alasan ini cukup masuk akal bagi La Tang. Anak puang Amir yang pertama memang belum memberinya cucu.

“Anak tidak boleh dipaksa harus dengan siapa, sekarang bukan jamannya lagi,” sahut emak Marni yang saat itu di samping suaminya.

Esoknya keluarga La Tang datang massuro.

***

Tiga bulan lalu Marni menelpon La Tang yang masih berada di Kalimantan untuk menyuruhnya segera datang. Awalnya Tang ragu karena menyadari uangnya belum cukup. Tapi ketika Marni berkata bahwa ayahnya telah merestui dirinya, La Tang pun bergegas mengurus cuti kerjanya.

“Kak, bapak merestuiku denganmu,” suara Marni di ujung sana.

Malam hari di mana esok malamnya La Tang dan Marni bersanding Marni berterus terang. Dengan berlinang air mata dia mengungkap kejujuran bahwa dirinya sudah terlambat 3 bulan ketika meminta La Tang datang melamarnya. Dia sedang hamil.

Mendengar kenyataan itu bagaimana La Tang tidak kecewa? Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tak menyangka Marni bisa setega itu membohongi dirinya. Dia merasa dijerat oleh perempuan yang sangat dicintainya itu. Inikah balasan sebuah cinta? La Tang hampir tak percaya. Bertahun-tahun dia menanti, hanya menanti untuk menjadi passampo siri, penutup aib.

Marni menangis tersedu-sedu. Berkali-kali dia meminta maaf di telapak kaki laki-laki yang mencita-citakannya. Dia tahu Tang sangat kecewa. Dia merasa menjadi perempuan yang paling hina dina dan mengharapkan orang yang mematung di hadapannya itu memberinya kata maaf.

“Kak, aku dengar kabar kalau kakak sudah menikah di sana,” kata Marni dengan tangisan yang pilu, “aku kecewa, Kak… aku kecewa!!!”

La Tang terdiam cukup lama untuk bisa menerima kenyataan itu. Marni, yang membanjiri wajah dengan air mata, membuatnya iba. Memang sangat sulit menerima kenyataan bahwa cinta sangat tak adil baginya. Tetapi pertanyaan hadir dari lubuk hatinya, “Kalau aku mencintainya kenapa aku tak mau memaafkan kesalahannya? Apakah cinta itu hanya menerima apa yang kita harapkan? Bukankan aku pernah meminta dirinya kepada Tuhan apapun yang terjadi?”

***

TAMAT


###

Daftar istilah

Doi sompa: uang mahar yang diminta oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dalam massuro

Massuro: melamar

Siri’ loppo: aib yang sangat besar

Ringgit: mata kalung berbentuk seperti koin yang terbuat dari emas

Passampo siri’: penutup aib, sebuah ungkapan yang maksudnya seseorang yang bertanggung jawab menikahi seorang wanita yang hamil atas perbuatan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.