Tiga
“Dia bukan pacarku. Tapi aku suka dia. Hm,
bukan aku saja, banyak yang suka dia. Jadi aku mau cepat melamarnya,” kata La Tang
agak sungkan. “Anaknya puang Amir… Marni,” lanjutnya selang beberapa detik.
Bahar kaget tapi Tang
tak melihatnya. Reaksi kaget itu tidak berlebihan. Bahar pun tahu siapa puang Amir.
Dan sebagai seorang teman yang sudah bersama sejak lima tahun lalu dia
meragukan temannya itu punya banyak tabungan. Rasanya tidak mungkin, kecuali tanah
milik almarhum bapaknya laku di atas 50 juta.
“Tapi aku bingung,
Bahar,” katanya kemudian dengan raut wajah nestapa,” darimana aku bisa dapat
banyak uang untuk melamar Marni?”
Pertanyaan barusan
membuat Bahar tersedak kopi yang baru saja diseruputnya. “Lalu bagaimana Tang
bisa berpikir mau melamar Marni kalau dia sendiri yakin tak punya cukup uang?”
Batinnya keheranan.
La Tang hanya bisa
menunduk sementara Bahar berusaha menjaga sikapnya. Dia tak mau Tang sampai
tersinggung atas batuk-batuk yang tiba-tiba menyerangnya.
***
Tiga hari sebelum
pulang kampung, La Tang ditemui oleh Bahar menyambung pembicaraanya beberapa
hari lalu tentang Marni. Baharuddin teringat sesuatu yang mungkin bisa membantu
temannya itu mendapatkan Marni dengan harga yang murah. La Tang, yang selalu
gagal mencari cara memikirkannya, merasa tidak bergairah mendengarnya. “Mungkin
Bahar mau berguyon, “begitulah tanggapannya.
“Daeng, kau ingat
dengan teman kerja kita, si Pandi?”
“Ya… ingat.”
“Coba pikir saja,
Daeng, masa baru empat bulan menikah istrinya sudah melahirkan,” kata Bahar
semangat.
Mendengarnya, Latang
mulai tertarik ingin tahu lebih jauh. Mimiknya berganti serius.
“Nah, coba Daeng
ingat waktu kita ikut melamar, berapa sompa yang diputuskan waktu itu?”
tanya Bahar.
La Tang mengarahkan
mata ke bagian atas kepalanya. Dia mencoba mengingat-ingat berapa jumlah yang
diumumkan saat itu di hari akad, “kalau tak salah 5 juta.”
“Nah, itulah! Kalau
mau tahu Pandi pernah mengeluh kepadaku bahwa ayah istrinya itu dulu minta 20
juta,” ungkap Bahar. “Daeng tahu kira-kira kenapa pada saat melamar hanya 5
juta yang putus? Itupun berjalan lancar tanpa ada proses tawar menawar? Kau
tahu, Daeng?”
Tang hanya menunggu
jawaban. Dia tak yakin dengan jawabannya sendiri. Dipikirannya mungkin Pandi
menjerat mertuanya itu dengan utang. Ah, si bajingan itu.
“Itu karena istrinya
sudah hamil duluan dan pandi cuma punya 5 juta.” Jawab Bahar tak lama. ”Si
bajingan itu pasti sengaja menghamili pacarnya supaya nanti sompanya
turun,” lanjutnya.
Sepertinya La Tang
mencoba mencerna penjelasan Bahar. Lama sekali dia merenung.
“Apa boleh buat…Kamu
juga bisa tiru cara Pandi, Daeng,” kata Bahar sebelum beranjak membiarkan
temannya itu sendiri.
“Dasar parakang! Asu…
kau pikir aku ini laki-laki bajingan seperti
Pandi?” tolak hati kecilnya.
Tentu saja La Tang
menolak cara-cara licik seperti itu.
Tentang Pandi, teman
kerja sekaligus teman yang datang dari daerah yang sama cuma beda kampung,
sudah tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Mandornya menanyainya ketika
Tang mengurus cuti kerjanya tapi dia benar-benar tak tahu kemana si bajingan
itu minggat setelah menikah dengan pacarnya itu. Kata pak Mandor Pandi meminjam
uang 30 juta dari perusahaan.
Besoknya, ketika akan
berangkat, La Tang baru tahu kemana laki-laki bertatto itu sembunyi sehabis
menelpon ibunya. Kabarnya dia kembali ke kampung sudah beberapa bulan lalu dan kini
ditemukan tewas di pinggir sungai dengan luka bacok di bagian dada dan perut.
Pandi memang sering buat ulah, banyak yang dendam padanya. Mungkin karena
itulah dia dihabisi. Namun belum ada yang tahu persis siapa yang tega
membunuhnya.
Dia teringat kembali
saat di kampung dulu, Pandi juga pernah menghamili anak gadis orang yang
dipacarinya. Alih-alih bertanggung jawab atas perbuatannya dia memilih kabur ke
Irian. Entahlah apa yang terjadi selanjutnya di Irian sana sebelum ke sini. Tapi
dia pernah bercerita pada La Tang ketika di sana dia melindas babi hamil hingga
tewas dan mendapat denda adat. Sialnya, babi yang dibunuhnya punya delapan anak
yang masih menyusui. Karena tak sanggup mengganti denda dia pun kabur ke sini.
***
Tenda didirikan oleh beberapa orang pemuda di tengah sawah
yang telah dipanen dan menjadi tanah lapang. Biasanya di situlah anak-anak
sering bermain sepak bola setiap sore. Kebiasaan itu sudah terjadi lebih dari
lima belas tahun lalu. Sawah yang tak jauh dari rumah ayah Marni itu tergolong
yang cukup tua. Dahulu dimiliki oleh Masse, sekarang berpindah ke tangan puang
Amir setelah pemilik awal merantau ke Irian dan menggadai semua sawahnya dengan
sebuah mata ringgit. Untuk hari ini, lapangan itu akan menjadi tempat
hajatan besok malam.
Sementara panggung
sedang ditata, sebuah pick-up baru saja menepi di dekat lapangan. Kernet segera
keluar membuka penutup bak belakang untuk menurunkan kursi. Orang-orang datang
membantu.
Perempuan-perempuan
dari kampung sebelah berdatangan untuk membantu keluarga puang Amir mengiris
daging dan memotong sayuran di bawah kolong rumah panggung khas Sulawesi.
Mereka sambil bergunjing. Dan yang paling menarik menjadi topik adalah mengenai
pesta pernikahan yang tidak semeriah dulu.
Beberapa tahun silam
juga pernah diadakan pesta sejenis di lapangan itu. Perempuan-perempuan yang
dulu datang membantu sekarang bertemu lagi dalam suasana yang hampir sama.
Hanya beberapa orang yang dulunya hadir sekarang tidak. Ada yang sudah
meninggal dua tahun lalu.
“Dulu, panggung besar
didirikan,” kenang janda muda yang baru menikah lagi. Tak lain dia adalah Sinar
Bulan, istri Caco. Dia masih mengingat lekat pesta pernikahan anak pertama puang
Amir. Dulu dia masih gadis kecil yang baru saja lulus SD ketika diajak ibunya
membantu memotong daging. Dia berkisah bahwa turab dipasang hingga sepuluh ruas
supaya bisa meneduhi banyak kursi. Puang Amir memang menyebar hingga 2000an
undangan ke beberapa kampung. Maka ketika itu untuk mengangkut kursi yang
begitu banyak harus menggunakan truk.
Dahulu, dua ekor sapi
gemuk dipotong dan berkarung-karung beras dimasak. Ratusan kelapa dikupas untuk
diambil santannya. Perempuan yang bertugas menyuci piring adalah bagian paling
sibuk. Tetamu tak habis-habisnya datang. Banyak orang yang menganggap bahwa
saat itu pesta pernikahan Masni lah, yang merupakan kakak perempuan Marni, yang
terbesar yang pernah digelar di kampung ini.
“Lihat saja berapa
kilo daging yang kita potong sekarang ini, mungkin hanya 30, begitulah
kira-kira uang yang naik,” komentar seorang perempuan yang memakai bedak sangat
tebal di dekat Sinar.
“Ya, mau diapakan
lagi. Mungkin begini pula lah takdir anak itu,” timpal seorang sedikit bijak.
“Kalau begitu aku
masih mending, walau janda bapakku masih bisa potong sapi 1 ekor waktu kawin
dengan daeng Caco,” tambah janda muda itu, guyonannya pun disambut tawa oleh
yang lain.
***
Empat
Terhadap orang-orang
yang belum tahu cerita sebenarnya mereka kagum pada La Tang yang bisa
mendapatkan gadis paling mahal di kampungnya itu. Meski uang sompa yang
naik masih simpang siur mereka tetap yakin bahwa pemuda itu membawa banyak uang
dari rantauan untuk orang tua Marni. Tetapi banyak juga yang menilai dari sudut
pandang lain. Mereka melihat kecilnya pesta yang digelar. Umumnya mereka adalah
para perempuan yang jarang keluar kampung. Orang-orang inilah yang sangat
berjasa membentuk opini yang akhirnya dipercaya sebagai suatu kebenaran.
Pandangan bahwa La Tang memberikan mahar yang banyak mulai luntur berganti ke
dugaan yang hina. Rumornya ini akibat ‘kecelakaan’.
La Tang memang
dikenal dekat dengan Marni sejak dulu. Terlebih ketika kedatangannya dari
Kalimantan. Suatu sore mereka dilihat oleh beberapa tetangga berduaan dari satu
stan ke stan pameran lain di acara pagelaran seni daerah di alun-alun kecamatan.
La Tang kemudian mengantar Marni pulang ke rumahnya jam 11 malam. Saat itu
orang tua Marni tidak di rumah lantaran sedang berada di salah satu rumah
keluarga yang selamatan. Bisa saja ketika berduaan itulah La Tang berbuat
sesuatu dengan Marni. Begitulah gunjingan yang beredar.
***
Di pelaminan yang
hanya dihibur oleh elekton setempat La Tang bersanding dengan Marni. Tang
mengumbar senyum kebahagiaan dihadapan ratusan undangan padahal itu adalah
senyum dari seorang yang menahan sesak. Dia mencoba tegar menahan perih hati
yang tersayat-sayat.
Saat kedatangannya
dari tanah rantau dia memberanikan diri menemui orang tua Marni. Niat baiknya
disambut hangat oleh keluarganya, terutama puang Amir. Dia tak menduga bahwa
ketika mengatakan hanya memiliki 20 juta, ayah Marni langsung menerimanya.
Hanya saja, La Tang disuruh untuk tidak memberitahu jumlah uang naiknya itu ke
khalayak. Ayah Marni beralasan bahwa Marni sangat mencintainya dan dia ingin
segera menimang cucu. Memang alasan ini
cukup masuk akal bagi La Tang. Anak puang Amir yang pertama memang belum
memberinya cucu.
“Anak tidak boleh
dipaksa harus dengan siapa, sekarang bukan jamannya lagi,” sahut emak Marni
yang saat itu di samping suaminya.
Esoknya keluarga La
Tang datang massuro.
***
Tiga bulan lalu Marni
menelpon La Tang yang masih berada di Kalimantan untuk menyuruhnya segera datang.
Awalnya Tang ragu karena menyadari uangnya belum cukup. Tapi ketika Marni
berkata bahwa ayahnya telah merestui dirinya, La Tang pun bergegas mengurus cuti
kerjanya.
“Kak, bapak
merestuiku denganmu,” suara Marni di ujung sana.
Malam hari di mana
esok malamnya La Tang dan Marni bersanding Marni berterus terang. Dengan
berlinang air mata dia mengungkap kejujuran bahwa dirinya sudah terlambat 3
bulan ketika meminta La Tang datang melamarnya. Dia sedang hamil.
Mendengar kenyataan
itu bagaimana La Tang tidak kecewa? Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia
tak menyangka Marni bisa setega itu membohongi dirinya. Dia merasa dijerat oleh
perempuan yang sangat dicintainya itu. Inikah balasan sebuah cinta? La Tang
hampir tak percaya. Bertahun-tahun dia menanti, hanya menanti untuk menjadi passampo
siri, penutup aib.
Marni menangis
tersedu-sedu. Berkali-kali dia meminta maaf di telapak kaki laki-laki yang mencita-citakannya.
Dia tahu Tang sangat kecewa. Dia merasa menjadi perempuan yang paling hina dina
dan mengharapkan orang yang mematung di hadapannya itu memberinya kata maaf.
“Kak, aku dengar
kabar kalau kakak sudah menikah di sana,” kata Marni dengan tangisan yang pilu,
“aku kecewa, Kak… aku kecewa!!!”
La Tang terdiam cukup
lama untuk bisa menerima kenyataan itu. Marni, yang membanjiri wajah dengan air
mata, membuatnya iba. Memang sangat sulit menerima kenyataan bahwa cinta sangat
tak adil baginya. Tetapi pertanyaan hadir dari lubuk hatinya, “Kalau aku
mencintainya kenapa aku tak mau memaafkan kesalahannya? Apakah cinta itu hanya menerima
apa yang kita harapkan? Bukankan aku pernah meminta dirinya kepada Tuhan apapun
yang terjadi?”
***
###
Daftar istilah
Doi sompa: uang mahar
yang diminta oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dalam massuro
Massuro: melamar
Siri’ loppo: aib yang
sangat besar
Ringgit: mata kalung
berbentuk seperti koin yang terbuat dari emas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.