Rabu, 25 September 2013

Meminang Dara Bugis :: 3 dari 3 (habis)


Tiga

 “Dia bukan pacarku. Tapi aku suka dia. Hm, bukan aku saja, banyak yang suka dia. Jadi aku mau cepat melamarnya,” kata La Tang agak sungkan. “Anaknya puang Amir… Marni,” lanjutnya selang beberapa detik.

Bahar kaget tapi Tang tak melihatnya. Reaksi kaget itu tidak berlebihan. Bahar pun tahu siapa puang Amir. Dan sebagai seorang teman yang sudah bersama sejak lima tahun lalu dia meragukan temannya itu punya banyak tabungan. Rasanya tidak mungkin, kecuali tanah milik almarhum bapaknya laku di atas 50 juta.

Meminang Dara Bugis :: 2 dari 3


Dua

La Tang menerima kabar dari kampungnya bahwa Caco, teman SDnya dulu, telah menikah sebulan lalu. Yang paling menarik baginya untuk diketahui adalah siapa istrinya dan putus berapa sompanya?

“Caco kawin dengan Sitti Sinar Bulan, janda muda yang suaminya mati ditusuk badik di pabrik penggilingan gabah di kampung sebelah,” cerita Indo Tuo, ibu La Tang melalui ponsel cina yang dikirimkannya baru-baru ini. La Tang tidak begitu tertarik dengan cerita penikaman itu karena dia ingin lebih tahu berapa uang sompa Sinar. Lagipula kejadian seperti itu bukan barang baru di kampungnya, sudah ada beberapa orang sebelumnya, entah pemuda atau bapak-bapak, yang mati di ujung badik. Dia rupanya sangat penasaran berapa harga janda sekarang.

Diary 17 Sep 2013


Ketika membelanjakan belanjaan emak di toko cina, Yuli, seorang remaja perempuan yang pernah menjadi kader remaja masjid, menyapaku,

“Ehm, Kakak lagi ngeborong nih ye…”

Aku langsung mendapati asal suara itu di sebelah kananku ketika di depan meja kasir pemilik toko melayaniku, “wah, nggak…cuma ini,” balasku padanya.

Di tengah keramaian orang-orang yang berbelanja dia bertanya padaku kenapa aku tidak aktif lagi di masjid. Mungkin maksudnya kenapa aku tidak aktif lagi di keremajaan masjid (Irma). Aku menskaknya dengan sebuah guyonan,

Kamis, 19 September 2013

Kencan Pertama

Ini tentang kencan pertamaku dengan Cammay.

Namanya Mukarramah. Nama kecilnya adalah Cammay dan samapi sekarang aku suka memanggilnya dengan nama itu. Itu mengingatkanku pula di masa-masa kecilku.

Cammay adalah tetanggaku. Aku banyak melihat dia di masa-masa kecilnya semenjak usianya masih 1 tahunan. Aku masih ingat wajah di masa kecilnya. Memang ketika itu aku sudah bisa merekam banyak hal, mengingat usiaku sudah sekitar 10 tahunan. Ya, aku dan dia terpaut usia 9 tahun.

 ***

Kedua orang tua Cammay mengizinkanku untuk membawanya malam itu. Kalau tidak salah 2 hari setelah lebaran. Mungkin ini sinyal bagiku kalau hubunganku dengannya telah direstui. Sebelumnya memang, melalui perantara, aku telah menyampaikan maksudku kepada kedua orang tuanya bahwa aku ingin menikahinya. Ayahnya menerima maksud baikku.

Kata ayahnya, kalau tahu aku suka padanya, mungkin Cammay tidak dikuliahkan dulu. Ini pertanda bahwa sebenarnya ayahnya ingin anak gadisnya itu cepat-cepat menikah. Tetapi aku tidak sesegera itu.

Pertama, aku merundingkannya pada Cammay. Aku meminta pendapatnya. Jadi, ketika dia bilang akan siap menikah setelah menjalani masa kuliah 2 tahun, aku menyetujuinya. Artinya, bila tidak ada halangan aku akan menikah dengannya di tahun 2015.

Walau besarnya rasa cintaku dan keinginanku untuk memilikinya, aku tetap tidak ingin memaksanya. Aku lebih memilih bersabar untuk menunggunya hingga siap. Juga, aku berusaha untuk tidak terlalu mengekspos rasa cintaku itu padanya. Aku tahu, segalanya yang terbaik adalah dari Allah, jadi aku berusaha untuk realistis.

Di kencan pertamaku, aku membawanya ke rumah teman untuk silaturahim. Kebetulan temanku itu mengundangku untuk jalan-jalan ke tempatnya.

Dengan motor, aku menjemput Cammay di rumahnya setelah waktu sembahyang isya, sekitar jam 8an lewat. Awalnya aku mau dia ditemani oleh temannya, sahabatnya, supaya aku tidak berboncengan dengannya. Jadi aku meminta Tiwi, sahabatnya itu menemani kami dan ia setujua. Tapi, entah disengaja atau tidak, beberapa jam setelah kami akan pergi, Tiwi bilang dia sakit jadi tidak bisa menemani. Terpaksa, aku hanya pergi berdua saja. Aku memboncengnya.

Dan, tepat ketika dia mulai naik di boncengan, di belakangku, rasanya aku masih tak percaya. Tetapi aku harus percaya. Ini adalah nyata. Aku bersamanya, menjemputnya di depan pintu rumahnya, diizinkan oleh ayah ibunya, dan... ini bukan mimipi. Gadis yang selama ini kudambakan, ada bersamaku.

Beberapa waktu setelah itu aku sulit melupakan momen itu. Bagiku, kencan pertama itu, adalah momen yang sangat berkesan. Beberapa hari aku selalu memutar ulang rekaman peristiwa itu dalam perenunganku. 

Selasa, 23 Juli 2013

Meminang Dara Bugis :: 1 dari 3


Meminang Dara Bugis

“Ditakdirkan menjadi pemuda bugis adalah sebuah tantangan.”

Setidaknya itu yang dirasakan La Tang, perantau yang berasal dari suatu kampung di tanah bugis. Bertahun-tahun dia mengumpulkan doi sompa, semacam uang seserahan wajib yang berlaku dalam adat pernikahan di kampungnya, yang disiapkan untuk meminang dara pujaan hatinya. Umpama suatu keinginan yang sungguh-sungguh itu dinamakan cita-cita, maka memiliki Marni adalah cita-cita terbesarnya. Ingin memiliki Marni…? Di situlah dia ditantang.